Nugraha Pratama

Nugraha Pratama
Blog of Sketch Journal about Jakarta

26/11/12

Phoenam - Kedainya Pelaut


Sudah banyak pasti dari kalian yang pernah mencoba ataupun mengetaui tentang Kopi Tana Toraja, bisa dibilang sebagai salah satu kopi yang prestasinya membanggakan dan sudah cukup ikonik akhir-akhir ini. Saya ngga akan panjang bicara soal Kopi Toraja ini karena saya bukan orang yang teoritikal soal kopi. Kali ini saya mendapati kesempatan untuk menggambar bersama teman yang sudah lama sekali ngga gambar bareng dan dia adalah Puppetvector (@puppetvector) dulu kita sama-sama gambar bareng di Jakarta Sketch Group. 

Menyambung soal Toraja tadi, saya akan membahas tentang sebuah kedai kopi tua yang berasal dari tanah kelahiran Kopi Toraja. Kali ini saya di temani juga oleh Bapak Albert, generasi kedua pemilik kedai ini. Sedikit cerita tentang kedai kopi Phoenam yang berawal dengan nama Phoe Nam Cold Drinks didirikan pada tahun 1946 di kawasan Jl Nusantara, Makassar. Dikepalai oleh 3 orang bersaudara dari ras Tiong hoa berasal dari Marga Liong Hainam. Salah satu pendiri awal Phoenam adalah ayah dari Bapak Albert bernama Liong Thay Hiong. Phoe Nam sendiri memiliki arti Persinggahan Selatan. Pada awalnya Phoe Nam Cold Drinks adalah sebuah kedai yang menjual Bir, karena letaknya berada dekat dengan pelabuhan dan target market mereka adalah pelaut (Selain suku Toraja, Makassar juga terkenal dengan suku Bugis yang kebanyakan mereka adalah pelaut). 

Pada tahun 1969 Pak Albert lulus SMA dan sejak itu ia sering bolak-balik ke Jakarta untuk berlibur. Tongkrongan favoritnya adalah Warkop Warung Tinggi di wilayah Kota Tua. Pak Albert bercita-cita untuk menjadi Hakim namun ketika ingin mendaftarkan diri ke Universitas Hasanudin ia mendapat penolakan dari Ayahnya. Dengan kepala dingin beliau akhirnya membantu ayahnya mengelola kedai. 




Tahun 1973 Ia menetap di Jakarta Barat saat itu Pak Albert tidak punya pekerjaan tetap. Beliau bercerita saat itu yang paling sering ia lakukan adalah bertemu teman-temannya di Kedai Warung Tinggi. Sekitar tiga atau empat bulan ia rutin pulang ke Makassar sampai pada tahun 1979 terjadi suatu kasus yang mengharuskan ia menstop penjualan bir, dan saat itu Phoe Nam Cold Drinks berubah menjadi Kopi Thiam Phoenam.

Pak Albert sendiri menceritakan bahwa ia masih kerabat dengan Killiney Kopi-Tiam sebuah toko kopi tua dan tersohor di 67 Killiney Road, Singapore (dekat Orchard). Pak Albert juga mencoba untuk meracik kopinya sendiri sampai akhirnya ia mencampurkan Salah satu kopi Sumatra dengan kopi dari daerahnya Toraja. Tak disangka pada 8 Juli 1997 ia membuka Outlet Kopi Thiam Phoenam di Gatot Subroto, lalu pada tahun 2003 ia Pindahkan Outletnya ke Jl Wahid Hasyim No 88 tempat dimana saya menggambar sekarang.



Ini pertama kalinya saya kesini, suasana di kedai ini benar-benar suasana kopi yang saya harapkan. Ketika saya masuk saya malah ngga tahu yang mana pegawainya. Sampai saya duduk dan saya ditanyakan mau minum apa. Lebih dari itu saya bisa menulis artikel ini karena Ownernya (Pak Albert) juga ikut duduk dan ngobrol bareng. Bukan karena gerak-gerik menggambar saya dan puppetvector, tapi semua tamu diperlakukan dengan sambutan yang sama. Mayoritas pendatangnya adalah orang Makassar, menurut Pak Albert suasananya tidak jauh berbeda dengan di Makassar. Bisa menjadi rekomendasi untuk kalian yang ingin merasakan atmosfir Toraja dan Bugis.

Kali ini saya mendokumentasikan suasana kopitiam, ketika pak Albert ngobrol dengan pelanggannya. Puppetvector juga mendokumentasikan suasana dapur Phoenam. Kami mendokumentasikan dalam bentuk live sketch di daily sketchbook masing-masing.

Buat saya kopi itu bukan hanya minuman yang tersaji di dalam gelas atau cangkir. Kopi adalah kehangatan atmosfir yang terjadi didalam sebuah ruang sosial. Kopi terlalu sempit untuk dinilai hanya sekecil isi cangkir, kopi itu ada karena ada aku dan kamu. Duileeeeeeh !

Selamat ngopi, salam !



Tulisan ini untuk artikel ke 2 saya di web @KopiKeliling
http://kopikeliling.com/news/kopitiam-phoe-nam-kedainya-pelaut.html

05/10/12

Dari Bioscoop Metropole Sampai Megaria XXI

Sebuah bangunan berarsitektur Art Deco yang berdiri sejak tahun 1932 di sudut Jalan pegangsaan dan Jl Diponegoro, Cikini. Pada era kolonial daerah ini memang ditempatkan sebagai kawasan hiburan. 

Bangunan ini dikenal sebagai Bioscoop Metropole pada tahun 1951, di kelola oleh PT Bioskop Metropole, lalu di era Soekarno sekitar tahun 60 akhir nama itu diganti menjadi  Bioskop Megaria dengan alasan pemboikotan budaya barat, bangunan ini akhirnya tetap disewakan kepada PT Bioskop Metropole sampai akhirnya posisi mereka digeser oleh Cineplex 21 (saya lupa tahunnya). Lalu sempat menjadi Megaria 21, dan sekarang Cineplex21 mengganti nama mereka menjadi XXI.


Sketching and Experiencing bersama teman-teman Indonesia's Sketchers.

Ink, Watercolor on Moleskine
2012

-Nugraha Pratama
@agapratama

23/08/12

Jakarta dan Monorail


Siang hari di  bawah teriknya matahari Tambun. beberapa orang terlihat sibuk merapikan sebuah kapsul besar yaitu sebuah lokomotif monorail. Monorail yang dikerjakan 100% tenaga lokal ini nantinya akan diaplikasikan di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia. Dengan kecepatan maksimal 60 km/jam kendaraan ini berkapasitas 125 orang / gerbong (3 gerbong / kereta).


Inilah penggerak Monorail tersebut. perbedaannya dengan kereta adalah terletak pada ban, kereta menggunakan roda besi, sedangkan Monorail menggunakan ban angin (ukurannya sebesar ban truk). Teknologi ini ditemukan di Jerman oleh seorang Insinyur bernama Alweg di tahun 60an. dan terus berkembang hingga saat ini.


Suasana workshop dan jalur uji coba monorail. Saya menggambar dari atas satu bangunan kecil, panasnya bukan main. 


Foto bersama tim Monorail  di sebelah saya adalah otak dari Monorail ini, Bapak Kusnan Nuryadi

"Setelah keberadaan angkutan-angkutan umum seperti KOPAJA, Busway, Commuterline, dll. Apakah Monorail bisa menjawab permasalahan hari ini di kemudian hari ?"


JAKARTA DAN MONORAIL, EFEKTIFKAH ?
Watercolor, ink on paper
14.8 x 21 xm (spread)
2012

-Nugraha Pratama
@agapratama

20/08/12

Idul Fitri A'la Jusuf Kalla

Open House yang diadakan di kediaman Jusuf Kalla di daerah Darmawangsa tepat tanggal 20 Agustus 2012 sangat ramai. Ini adalah open house yang saya ikuti kedua kalinya setelah tahun lalu saat beliau ulang tahun. Hiruk pikuk orang-orang yang kesana kemari, senggol sana senggol sini. Beberapa petinggi negara juga bersebaran, wajah-wajah tenar di televisi yang bisa di temui langsung. sebuah rumah yang tidak terlalu besar ini dipenuhi aura kekeluargaan yang terasa akrab. Namun, bukan itu lah yang paling menarik di open house ini. Dengan sangat jujur, yang paling menarik adalah makanannya. 

Masakannya sangat beragam, dari kuliner lokal sampai yang ke-arab-an ada disini dan bisa dinikmati sepuasnya. Saya hanya sempat menenggak lima macam masakan dan minuman dari sekian banyak macam. 




Yang pertama adalah Jus Kacang Hijau, rasanya manis ini adalah jus yang fresh dan ini minuman yang paling top !

Kedua, Sate Padang, rasanya tidak seperti umumnya sate padang. Tidak pedas, lebih gurih, lebih matang (agak gosong) mungkin kata yang tepat untuk rasa sate padang ini adalah mild.

Ketiga, Nasi Kebuli Al-Jazeera (Mandhi Ayam), dengan Basmati dan rasa timur tengah yang khas beraroma capulaga. saya mendapat potongan ayam terbesar hahaha, demi perut dan estetika menggambar (ayam 1/2 ekor dipotong vertikal).

Keempat, Telur Ikan Terbang, makanan ini menurut saya lebih cocok menjadi topping saat makan mie instan, sup, atau nasi goreng daripada digado. Masakkan ini menjadi top of the five pilihan pak Jusuf Kalla dari lima masakkan yang saya gambar.

Kelima, Buras, bentuknya kotak sekitar 8 cm x 8 cm. Buras adalah lontongnya orang makassar. cara memakannya disajikan dengan coto makassar. rasanya lebih gurih dari lontong dan ketupat.



Kondisi saya paling beruntung saat menggambar adalah mendapatkan kursi, ya kondisi saat berdiri cukup ramai, pengunjung bergilir tak henti-henti menciduk lauk pauk.


Foto bersama tuan rumah, Jusuf Kalla setelah memilih top of the five dari sketsa kuliner yang saya buat. masih banyak masakkan yang enak disini, tapi perut saya memiliki batasan, terima kasih pak Jusuf Kalla, semoga masih ada kesempatan Open House berikutnya !

-Nugraha Pratama
@agapratama

08/05/12

Sharing : Pembagian Aquarelle

Menepati janji saya kemarin untuk melanjutkan sharing secara personal mengenai pengalaman dan media, kali ini masih berkutat di Aquarelle (kertas cat air) selamat bertukar pikiran, kawan !

Tipe Kertas
Kertas cat air (Aquarelle) yang baik terbuat dari “linen rag” murni, harganya relatif sangat mahal, kalau untuk pemula yang mungkin masih ragu menggunakannya bisa menggunakan kertas-kertas buatan mesin yang tersedia di took-toko alat lukis di sekitar tempat tinggal kalian. Ada beberapa macam brand/merk mereka semua memiliki variasi yang berbeda lagi. Tapi diantara perbedaan itu bisa kita bagi menjadi 3 variasi.


Untuk ukuran lebih besar, gambar ini bisa di preview sendiri (silahkan diunduh)



Berat dan Kualitas Kertas
Kertas cat air memiliki variasi gramatur, gramatur ini sangat berpengaruh dengan kadar air dan juga berpengaruh saat meratakan kertas. Saya mengelompokkan kertas-kertas tersebut dari ukuran beratnya, contoh :
-       Mulai dari 160 gsm = Ringan
-       Lalu 250 gsm = Sedang
-       Sekitar 400 gsm = Kuat
-       Dan 600 gsm = Sangat Kuat.
Secara umum kertas cat air 400 gsm bisa digunakan tanpa perlu di “streching”. Namun sekitar 250 gsm masih butuh di “stretching”.


Untuk ukuran lebih besar, gambar ini bisa di preview sendiri (silahkan diunduh)



Menemukan Sisi yang Benar
Sebenarnya sisi yang benar belum tentu sisi terbaik, sekali lagi ketika menggambar kalian hanya butuh maksimal. Tapi saya mau share untuk menemukan sisi yang benar dalam artian yang di tunjukan untuk dipakai (dianjurkan).
Tidak semua kertas memiliki watermark. Tapi ketika mereka memilikinya itulah penunjuk mana sisi yang dianjurkan dan mana sisi yang tidak dianjurkan. Untuk melihat dengan jelas, bentangkanlah kertas, jika anda bisa melihat watermark dari kertas itu dengan baik dan benar (tidak terbalik) maka itulah sisi yang benar.

Menggunakan Watercolour Board
Sebenarnya saya belum pernah mencoba media ini, saya tahu media ini melalui beberapa buku dan blog. Yang saya ketahui watercolor board di anjurkan bagi kalian yang tidak memiliki waktu banyak untuk melakukan “stretching” pada kertas anda.


# Materi "Sharing : Pembagian Aquarelle" selain dari pengalaman sendiri juga dikutip dari banyak sumber seperti : Encyclopedia of Watercolor techniques (Diana Craig & Hazel Harrison)

29/04/12

Sharing : Aquarelle dan Cat Air

I Feel Blues Series : Felter, cat air Talen's Rembrandt di kertas Concorde 220 gsm 



I Want You, Chicken !, Cat Air Talent's Rembrandt di kertas HVS 70gsm

Kecintaan saya terhadap menggambar semenjak kecil membuahkan keinginan untuk mengetahui sebuah media yang umum dan sering saya pakai sekarang ini yaitu aquarelle sebuah kertas yang umumnya dipakai untuk medium cat air. ketika mendengar media ini yang terpikir di pikiran saya adalah mahal, karena harganya yang memang lebih tinggi dari kertas lain saya mencari alternatif dari aquarelle itu sendiri saya mencoba kertas-kertas seperti samson, concorde, HVS, sampai kertas untuk nasi bungkus. sekadar info dari kecil saya sangat mencintai kertas untuk media menggambar (mayoritas saya menggambar diatas kertas) meskipun kanvas dan kertas sama-sama memiliki serat, namun saat penggunaannya jauh sekali berbeda, tapi kali ini saya tidak akan banyak membahas soal perbedaan itu.

 Kali ini kita bicarakan soal aquarelle, kenapa aquarelle dikatakkan sangat cocok untuk cat air ? kenapa tidak HVS, Concorde, dll toh mereka punya gramatur yang juga tebal dan kuat kok. Oke, pertama-tama saat dalam kondisi basah kertas akan meregang hebat dan ketika kering partikel itu akan kembali ke posisinya masing-masing, kertas yang tidak kuat akan bergelombang dan lebih parahnya lagi robek atau menjadi bubur ketika di gosok dengan air secara terus menerus, ini salah satu masalah klasik dalam menggunakan media basah diatas kertas. Maka dari itu pentingnya standarisasi dalam kertas Aquarelle dengan ketebalan tertentu yang dihitung dalam satuan luas gram per meter.

Perbedaan lainnya adalah pada kertas-kertas yang sehari hari kita temui (dari merk-merk ternama) biasanya sudah free acid / bebas asam, kertas-kertas ini di produksi dalam jumlah besar sehingga dalam pembuatannya menggunakan bahan kimia yang bisa merubah warna kertas menjadi kekuningan setelah beberapa tahun, Aquarelle sendiri tidak dibuat dengan bahan kimia dan tidak diputihkan dengan klorin lalu Aquarelle juga di lapisi lagi oleh gelatin sebelum dikeringkan. Inilah yang membuat cat air menyerap sepenuhnya pada permukaan kertas dan warnanya bertahan cerah bertahun-tahun.

Vespa'79, Cat Air Talent's Rembrandt di Kertas Aquarelle Canson 200 gsm  



Study Still life, Cat Air Talent's Rembrandt di Kertas Aquarelle Canson 200 gsm  

Standart untuk saya sendiri dalam menggunakan cat air adalah 160 gsm (160 gram per meter), pada gramatur itu tekhnik wet bisa digunakan. Namun kertas masih bergelombang (sedikit) tapi setidaknya tidak menjadi bubur, sedangkan untuk gramatur yang saya gunakan rata-rata diatas 200 gsm, untuk pilihan merk ngga ada yang saya favoritkan, semuanya sesuai kebutuhan. Tapi jangan takut untuk bereksplorasi, ngga ada salahnya kok kalau kamu mencoba kertas-kertas yang lain seperti HVS, Padalarang, Merang, Concorde, dll. Justru kalian juga harus belajar dari media-media lain. selamat mencoba dan selamat berkarya.

Berikutnya saya akan coba jabarkan macam-macam kertas Aquarelle.


 # Materi-materi tentang "Sharing : Aquarelle dan Cat Air" selain dari pengalaman saya, ini juga didukung oleh adanya buku*Sumber dari : Encyclopedia of Watercolor techniques (Diana Craig & Hazel Harrison), Blog R.E. Hartanto, dan surfing Google.com